Sabar, Beginilah Cara Mengelola Emosi Anak

cara mengelola emosi anak


Anak nangis? Anak marah-marah? Apa yang orangtua rasakan terutama ibu saat itu? Pastinya ikut emosi, bingung bahkan bisa balik marah-marah ke anak. Semua bentuk perwujudan emosi itu merupakan hal wajar dan bisa dimaklumi. Namun akan menjadi masalah jika bentuk emosi itu hadir secara berlebihan. Makin mengkhawatirkan kalau sampai terjadi berulang-ulang hingga mengganggu aktivitas. Maka dari itu, orangtua penting untuk tahu cara mengelola emosi anak.

Berbicara tentang emosi, sebenarnya bentuknya tidak hanya berupa kemarahan. Emosi juga bisa berupa sedih, takut bahkan senang pun termasuk emosi. Semua jenis emosi memerlukan pengelolaan agar tidak sampai mengganggu kestabilan psikis. Dan yang paling perlu mendapat perhatian adalah emosi yang mengarah pada hal negatif seperti sedih berlebihan hingga menangis dan kecewa hingga marah besar.

Mengenal Emosi pada Anak

Photo by Alexander Dummer from Pexels

Pengendalian emosi penting dilakukan di semua tahap usia. Orang dewasa dengan pengalaman hidup yang lebih banyak menjadi latar belakang mengapa lebih mampu mengendalikan emosi. Sementara anak masih belum punya kemampuan mengendalikan diri dengan baik. Oleh karena itu, anak sangat butuh bantuan orangtua untuk mengelola emosi di masa kecilnya. Tapi sebelum membantu anak, orangtua harus paham perkembangan emosi anak di tiap usianya.


Usia 0-1 Tahun

Pada usia bayi, anak bukan berarti tidak memiliki emosi. Meski belum bisa mengungkapkan dengan kata-kata, bayi sudah bisa menunjukkan emosi melalui tangisan. Itulah mengapa ada beberapa jenis tangisan bayi yang mendadakan kondisi berbeda. Ada tangisan karena lapar. Ada kalanya anak menangis karena tidak nyaman. Emosi bayi juga bisa terlihat dari gerakan anggota tubuhnya, seperti tangan dan kaki.


Usia 1-3 Tahun

Pada usia 1-3 tahun, perkembangan emosi anak sudah cukup dinamis namun belum stabil. Trantrum masih menjadi kebiasaan anak di usia tersebut karena mereka masih memiliki kemampuan terbatas untuk menyampaikan emosi. Emosi yang diperlihatkan juga semakin beragam karena mereka sudah mulai berinteraksi dengan orang dan lingkungan sekitar. Meskipun mereka masih akan tetap lebih banyak menggunakan tangisan.


Usia 3-4 Tahun

Semakin bertambah usia, anak akan semakin mampu menonjolkan emosi. Pada usia 3-4 tahun, anak bahkan sudah bisa mengenali emosi yang dirasakannya sebab mereka sudah mampu menyebutkan nama emosi tersebut. Misalnya ketika takut, maka anak akan mengungkapkan. Ketika di usia ini, anak sebenarnya sudah mulai bisa mengendalikan emosi. Hanya saja sisi egoisnya kadang masih lebih besar sehingga emosinya masih tetap tidak terkendali.


Usia 4-5 Tahun

Mendekati masa akhir usia balita, anak sudah mampu menenangkan temannya yang sedih atau marah. Tapi bukan berarti mereka bisa berhasil saat mengendalikan emosinya sendiri. Justru di usia tersebut, ego anak sedang tinggi-tingginya. Anak sering merasa selalu benar dan merasa harus selalu diterima. Saat kondisi perasaannya sedang kurang baik, anak akan melampiaskan emosi dengan cara yang spontan.

Cara Mengelola Emosi Anak

Photo by Daria Shevtsova from Pexels

Tidak salah apabila orangtua berharap anaknya selalu menunjukkan emosi yang menyenangkan, bukan yang mudah marah atau menangis. Tapi keinginan tersebut tentu sulit terwujud mengingat anak adalah makhluk yang punya beragam emosi. Tentu sudah menjadi kodrat mereka untuk selalu menunjukkan beragam emosi itu berdasarkan kondisi yang terjadi pada dirinya. Tugas kitalah sebagai orangtua untuk menjadi pengendali serta pengarah emosi agar tidak menghasilkan hal-hal negatif.


Kenali Penyebab Emosi

Melakukan cara mengelola emosi akan berhasil apabila orangtua terlebih dahulu tahu penyebabnya. Apa yang menyebabkan anak mengeluarkan emosi tertentu juga bisa berasal dari beragam faktor. Salah satunya adalah pengaruh usia dan perkembangan otak. Pada usia dini, otak anak belum cukup mampu menghasilkan respon yang sepatutnya dalam waktu singkat. Sehingga yang secara cepat terjadi adalah respon seperti menangis atau berteriak. Orangtua harus menyadari faktor ini sebelum melabeli anak dengan sebutan 'nakal'.

Faktor kedua yang bisa jadi penyebab emosi adalah perkembangan motorik, sensorik dan kognitif. Kemampuan yang semakin berkembang membuat anak tertarik untuk mencoba banyak hal baru. Sifat egosentrisnya melatarbelakangi keinginan anak untuk melakukan banyak hal sendiri. Mereka juga sering melihat segala sesuatu dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Hal tersebut seringkali menghasilkan sifat keras kepala anak yang bertentangan dengan orangtua.

Saat sudah memahami faktor penyebab emosi pada anak, orangtua akan lebih mampu untuk mengendalikannya. Sebagai contoh, ketika anak menangis karena mainan yang telah disusunnya runtuh, maka orangtua bisa memahami bahwa itu diakibatkan oleh ketidakmampuannya menerima kondisi. Kemudian orangtua dapat mengatasinya dengan cara yang lebih tepat, misalnya dengan memberitahu anak bahwa ia harus perlu berhati-hati agar mainannya tidak runtuh.


Mengalihkan Emosi

Jika anak belum mampu berkomunikasi, maka orangtua bisa meredakan emosi anak dengan mengalihkannya ke hal lain. Cara ini memang sudah menjadi hal umum di kalangan orangtua. Contoh sederhananya, bayi yang menangis bisa ditenangkan dengan melihat langit atau benda-benda yang menarik. Cara ini juga sering berhasil untuk membuat perhatian anak teralihkan hingga bisa melupakan penyebab utama emosinya.


Ajarkan Anak Mengungkapkan Emosi

Saat anak sudah mulai menguasai banyak kosakata dan mampu diajak berkomunikasi, orangtua perlu mengajarkan anak bagaimana seharusnya mengungkapkan emosi. Orangtua bisa memperkenalkan nama-nama emosi beserta contohnya, seperti marah ketika mainannya direbut, sedih ketika kehilangan sesuatu atau takut ketika berada di sekitar orang-orang asing.

Anak yang sudah mengerti emosi akan lebih mudah diajari cara mengungkapkannya. Orangtua dapat memberitahu bagaimana cara mengatur napas ketika marah, misalnya. Anak juga bisa diajari bagaimana mengungkapkan emosi dengan kata. Contohnya, mengatakan "aku takut" atau "aku sedih". Cara ini memang tidak akan berguna pada anak yang belum mampu memahami komunikasi.


Berikan Waktu dan Batasan pada Anak

Saat anak menunjukkan emosi tertentu, orangtua akan secara refleks ingin meredakannya. Apalagi jika emosi itu berupa kemarahan, orangtua pasti kelimpungan dan menginginkan kemarahan anak segera surut. Justru anak seharusnya diberi waktu untuk mengekspresikan emosinya itu. Hanya saja memang waktunya tidak boleh terlalu lama. Dengan membiarkan anak menunjukkan emosinya, maka itu tidak akan membuat emosi itu terpendam yang akhirnya di kemudian hari bisa meledak lebih parah.

Orangtua juga perlu memberi batasan pada anak ketika meluapkan emosi. Bagaimanapun anak belum mampu mengelola pengendalian dirinya. Batasan dari orangtua perlu diberikan ketika anak sudah mulai berlebihan, misalnya menangis sambil bergulung-gulung di lantai. Orangtua juga perlu mengingatkan ketika emosi yang keluar mulai mengganggu aktivitas anak.


Tunjukkan Empati dengan Mengobrol

Cara mengelola emosi anak yang berikut ini juga belum bisa diterapkan pada anak yang belum mampu berkomunikasi. Orangtua tidak sebaiknya turut menunjukkan emosi yang sama pada anak, misalnya ikut marah saat anak marah. Pasalnya emosi yang sama tidak akan bisa menghasilkan penyelesaian. Bahkan ketika anak sedih, orangtua juga seharusnya tidak ikut sedih.

Empati pada emosi anak bukan berarti orangtua menunjukkan emosi yang serupa. Empati bisa ditunjukkan dengan berbicara dari hati ke hati. Berbicara bisa dilakukan setelah orangtua memberi waktu pada anak untuk melampiaskan emosi. Pastikan berbicara pada anak ketika kondisinya sudah mulai tenang agar hasilnya lebih efektif.


Bersikaplah Tegas tapi Bukan Keras

Meskipun orangtua dianjurkan untuk mengajak anak berbicara dari hati ke hati, bukan berarti orangtua sedang mengikuti kemauan anak. Orangtua tetap harus tegas untuk mengatasi emosi anak. Bersikap tegas tidak harus dengan marah-marah apalagi berkata kasar. Sikap tegas cukup ditunjukkan dengan kalimat yang bersifat persuasif. Hal itu dilakukan agar anak tahu apa risikonya jika membiarkan emosi itu berlanjut.

Sikap tegas juga tidak seharusnya ditunjukkan dengan berbuat kekerasan. Untuk apapun alasannya, kekerasan pada fisik bukan jawaban untuk mengatasi emosi anak. Bahkan emosi anak bisa semakin lepas kendali jika ia mendapatkan kekerasan. Hal yang lebih menakutkan lagi apabila kekerasan membekas di otak anak dan ia akan menirunya di masa depan.


Berikan Contoh yang Baik

Menginginkan anak bersikap baik dan mampu mengendalikan emosi tentu tidak akan terwujud jika orangtua sendiri justru mudah melampiaskan emosi. Karena anak merupakan peniru ulung, maka orangtua sudah semestinya memberikan teladan yang baik. Sebisa mungkin, orangtua harus menyembunyikan emosi yang negatif dari anak. Usahakan tidak berada di dekat anak ketika marah besar hingga meledak-ledak.

Termasuk ketika menanggapi kemarahan anak, orangtua yang bisa bersikap tenang akan lebih efektif dalam menanamkan teladan pada anak. Anak akan melihat bagaimana orangtuanya bersikap saat marah, maka ia juga akan meniru yang demikian saat marah. Memberi teladan secara tidak langsung menjadi cara mengelola emosi anak yang paling efektif.


Mengetahui cara mengelola emosi anak merupakan ilmu wajib yang harus dikuasai orangtua. Bahkan ayah yang kebanyakan tidak terlalu sering bersama anak pun tetap harus menguasai ilmu ini. Karena keberhasilan mengelola emosi anak tidak akan bermanfaat saat ia masih kecil. Karakter baik anak akan terbentuk dari cara mengelola emosi yang benar hingga manfaatnya bisa dirasakan sampai ia dewasa.

Salam,


Post a Comment

1 Comments

  1. Bener banget Mba Risma... Anak usia 3 sd 5 thn kayak anak saya emang suka menonjolkan emosinya. Sisi egosentrisnya kelihatan sekali

    ReplyDelete