8 Feb 2019

One In One Out, Sudahkah Kita Menerapkannya?

11:11 0 Comments

Setiap perempuan sepertinya sangat menyukai fashion. Perempuan identik dengan hal-hal berbau kesempurnaan penampilan. Itulah mengapa perempuan sering dikaitkan dengan kegemaran berbelanja. Belanja apa saja pasti menyenangkan bagi perempuan, terlebih berbelanja pakaian.

Bahkan perempuan seolah tidak pernah puas berapapun pakaian yang telah mendiami lemarinya. Saat melihat model pakaian terbaru, muncul hasrat yang sangat kuat untuk membeli. Meskipun ingat bahwa lemarinya hampir penuh oleh pakaian yang pada akhirnya tidak semua terpakai.

Ada juga beberapa perempuan yang memang gemar mengoleksi pakaian. Terlebih mereka yang condong ke salah satu brand tertentu dan terus saja mengejar setiap koleksi yang dikeluarkan, meskipun harganya tidak murah. Selain karena memburu gengsi akan brand tertentu, mereka juga seolah tidak bisa menahan diri untuk memiliki pakaian idaman.

Alhasil, puluhan pakaian berbagai jenis dan warna terkumpul. Tak peduli telah memenuhi tempatnya. Namun terus saja senang memburu trend pakaian terbaru yang jelas tidak akan pernah ada ujungnya.

Memang pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Namun bukan lagi menjadi kebutuhan, melainkan menjadi nafsu ketika membeli pakaian hanya ingin menuntaskan hasrat, ingin dipuji dan menjaga gengsi saja. Padahal setiap barang yang kita miliki pasti dan tidak mungkin tidak akan kita pertanggung jawabkan kelak.

Semua barang yang kita miliki dan kita simpan akan ada hisabnya, tak terkecuali pakaian. Blouse lucu-lucu yang kita beli karena lapar mata melihat online shop di Instagram. Jilbab berbagai model yang kita koleksi namun tidak semua terpakai. Mukena dari yang murah hingga mewah yang tidak semua kita pakai dan lebih sering berdiam di dalam lemari. Gamis, baju dalaman, bahkan pernak pernik pendukung seperti kaos kaki, inner jilbab atau handsock juga tidak akan luput dari hisab di hari akhir nanti.

Lalu bagaimana kita akan mempertanggun jawabkan semua barang yang kita beli hanya karena berdasarkan keinginan itu? Sudah siapkah kita untuk memberi jawaban atas semua itu? Sudah mampukah kita bertahan lebih lama saat hari hisab karena barang koleksi kita yang sangat banyak?

“Orang muslim yang miskin akan masuk surga sebelum orang muslim yang kaya dengan selisih setengah hari, yang itu setara dengan 500 tahun.” (HR. Ahmad)

Duh, masih dibayangkan saja sudah terasa berat jika kita harus berdiri ratusan bahkan ribuan tahun di hari perhitungan hanya karena barang-barang yang kita beli saat masih di dunia. Astaghfirullah.

Lalu bagaimana agar semua yang kita miliki tidak memberatkan?

Sederhana saja sebenarnya. Kita tinggal merelakannya. Merelakannya untuk diberikan kepada orang lain yang juga membutuhkan. Atau jika memang sesuatu itu masih sangat layak untuk dihargai, kita pun bisa menjualnya kembali atau yang terkenal dengan istilah pre loved.


One In One Out, merupakan satu cara efektif agar kita terbiasa dengan barang yang cukup alias tidak terlalu banyak menumpuk barang. One In, bisa diartikan ketika kita ingin membeli satu barang atau pakaian. Namun sebelum membeli, harus ada syarat yang dipenuhi yaitu One Out, yang artinya mengeluarkan satu barang yang sama. Artinya, jika kita ingin membeli sebuah gamis baru, maka kita harus merelakan satu gamis lama kita untuk keluar dari lemari. Mau dijual lagi atau langsung disedekahkan, itu pilihan.

Berat? Memang. Apalagi jika kita ingin memiliki banyak barang agar bisa berganti-ganti saat memakainya. Berat, apalagi jika barang yang harus kita keluarkan adalah barang kesayangan.

Namun, bukankah hari perhitungan akan jauh lebih berat dari sekedar rasa tidak rela itu?

Yuk, mari mulai belajar untuk tidak menghambur-hamburkan rezeki untuk membeli banyak barang yang belum tentu kita butuhkan. Yuk, mulai peka untuk merasakan hasrat membeli apakah benar-benar butuh atau hanya sekedar keinginan sesaat.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengendalikan diri, agar di akhirat nanti jalan kita menjadi mudah untuk menuju surga. Aamiin.

Salam,

5 Feb 2019

Cerpen: Istri dengan Wajah Semrawut

08:32 0 Comments
sumber: IG @_katahatikita

Petang itu langit kota Jakarta dihiasi rintik hujan. Gelapnya mendung hampir serasi beradu dengan gelapnya langit tanda malam akan tiba. Suara gemuruh dan kilatan cahaya semakin menambah kesan mencekam.

Seperti biasa, mendekati petang datang, se-mencekam apapun suasananya, kota besar Jakarta masih tetap saja sibuk. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan lalu lalang, dari motor, mobil hingga kendaraan besar lainnya. Semua ingin segera sampai di rumah setelah menekuni pekerjaan seharian di tempat yang mereka sebut tempat mengais rezeki.

Semua ingin segera berkumpul dengan keluarganya di rumah, melepas penat, mendapat hiburan setelah keletihan yang didapat di tempat kerja. Namun tidak dengan Ramdan. Ia justru merasa malas kembali ke rumah. Namun ia juga tidak mungkin semalaman berada di kantor dan tidur di sana. Akhirnya ia memutuskan untuk menepikan motornya di salah satu kafe.

Ramdan memesan secangkir espresso. Ia ingin seruputan espresso panas bisa mengalihkan rasa penatnya sehabis bekerja, juga rasa malasnya jika harus kembali pulang. Ia memilih duduk di dekat pintu masuk sambil menikmati lantunan merdu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi wanita.

Beberapa menit berselang, seseorang masuk dari pintu dengan tergesa-gesa. Ia menepuk-nepuk pakaiannya yang hampir seluruhnya basah karena hujan. Pria itu langsung duduk di kursi yang satu meja dengan Ramdan. Sepertinya ia tak melihat jika ada Ramdan di sana.

"Oh, maaf Mas, saya enggak lihat kalau sudah ada orang di sini", kata pria itu.

"Enggak apa-apa, Mas. Kebetulan saya memang sendirian", jawab Ramdan.

"Oke, saya boleh lanjut duduk di sini kalau begitu ya? Kalau iya, saya tidak perlu cari tempat duduk lain. Sepertinya kafe ini hampir penuh karena di luar hujan".

"Silakan".

Pria itu kemudian memanggil seorang pelayan dan memesan segelas coklat panas.

"Saya Fikri, Mas", kata pria itu sambil mengulurkan tangan pada Ramdan.

"Saya Ramdan", jawab Ramdan menyambut uluran tangan itu.

"Nunggu hujan reda juga ya Mas sebelum pulang?"

"Hmm, saya sebenarnya malas pulang".

"Wah, kalau begitu Mas Ramdan harus segera menikah, biar semangat saat waktunya pulang", canda Fikri sambil setengah tertawa.


"Saya sudah menikah, bahkan sudah ada dua anak".

"Oh ya? Aduh, maaf. Saya enggak bermaksud ... "

"Enggak masalah, Mas. Santai aja", sahut Ramdan dengan memaksakan senyumnya.

"Tapi kenapa harus malas, Mas? Bukannya waktu pulang itu yang selalu ditunggu-tunggu seorang suami?"

Ramdan masih terdiam.

"Maaf, Mas kalau saya terlalu banyak ingin tahu. Sekali lagi maaf".

"Istri saya tidak pernah menyenangkan saya, Mas. Setiap saya pulang, saya selalu melihat istri saya dalam keadaan yang enggak enak dipandang. Dia pakai daster lusuh, rambutnya kusut seperti enggak pernah disisir. Belum lagi wajahnya kusut, semrawut. Benar-benar membuat saya malas pulang".

Fikri masih terdiam.

"Saya inginnya setiap pulang dia menyambut saya dengan penampilan yang cantik. Saya sudah bekerja seharian penuh di kantor. Lelah dan ingin mendapat kesegaran saat di rumah. Belum lagi, rumah selalu berantakan. Bagaimana saya bisa nyaman dengan keadaan seperti itu di rumah?"

"Hmm, Mas Ramdah enggak pakai jasa asisten rumah tangga?"

Ramdan menggeleng. "Istri saya tidak bekerja, jadi buat apa saya harus menggunakan jasa orang lain untuk mengurus rumah?", lanjutnya.

"Mas Ramdan ingat enggak, dulu sebelum menikah, istri Mas Ramdan seperti apa?"

"Dia cantik, Mas. Dia langsing, kulitnya bersih, wajahnya juga cerah. Makanya itu saya jatuh cinta kepadanya dan menikahinya."

"Mas Ramdan sudah membuatnya mengandung dua anak. Dua kali itu pula dia merasakan beban berat, yang mungkin kita sebagai lelaki tidak sanggup menanggungnya. Bayangkan Mas, perutnya sangat besar dan berat waktu mengandung. Belum lagi dia harus merasakan banyak hal tidak nyaman selama 9 bulan".

Ramdan terdiam.

"Belum selesai, dia masih harus berjuang melahirkan kedua anaknya. Dia bahkantahu kalau nyawanya bisa saja melayang karena itu. Tapi dia tetap ingin melahirkan buah hati kalian. Mas Ramdan beruntung karena istri Mas Ramdan berhasil lolos dari maut. Saya lebih tidak beruntung, karena bahkan untuk melahirkan anak pertama kami saja, istri saya harus merelakan nyawanya", Fikri mulai berkaca-kaca.

Begitupun juga Ramdan. Ia yang sedari tadi mematung, mulai menunjukkan reaksi iba.

"Setelah melahirkan dengan selamat, istri Mas Ramdan masih harus mengurusnya sendirian. Sementara Mas Ramdan bekerja. Dan tidak ada jasa baby sitter yang membantunya. Belum sampai anak pertama kalian beranjak besar, datanglah anak kedua kalian. Mas Ramdan beruntung memiliki seorang bidadari dan dua malaikat kecil. Saya kehilangan bidadari saya dan bahkan malaikat kecil saya satu-satunya".

Ramdan masih terpaku seolah tak bisa mengatakan apapun.

"Seorang istri bahkan ia lebih sedkiti tidur demi menyempurnakan hari orang kesayangannya, anak dan suami. Ia tidak mendapat gaji dari siapapun, tapi ia bekerja tak kenal libur dan cuti. Ia hanya berusaha menyelesaikan pekerjaan rumah yang rasanya waktu 24 jam itu seperti kurang baginya. Saking banyaknya yang harus ia kerjakan".

"Wajar, jika saat malam tiba, yang terlihat hanya wajah semrawutnya. Se-semrawut itulah hari-harinya di rumah. Ia tak bekerja, tak menghasilkan uang dan hanya menerima uang belanja. Tapi ia pasti berusaha sekuat tenaga untuk membuat rumah kalian bersih, meski anak-anak dengan cepat bisa membuatnya berantakan lagi."

"Jika ia bisa bersantai-santai, ia pasti sempat jika hanya menyisir atau sekedar memulas bedak pada wajahnya. Kenyataannya, ia seringkali tak menemukan waktu senggang untuk sekedar mandi dengan leluasa tanpa teriakan anak dari luar yang memaksanya segera selesai mandi".

"Jika Mas Ramdan ingin melihat istri dalam keadaan cantik setiap pulang dari kantor, berikan ia bantuan untuk mengurus rumah. Atau jika itu sulit, korbankan tenaga Mas Ramdan untuk membantunya sedikit saja, agar ia tersenyum dan terlihat cantik".

Ramdan mulai menitikkan air mata. Ia merasa bersalah pada istrinya yang selalu ia lihat dengan wajah semrawut. Dalam kepalanya terbayang bagaimana dulu istrinya meringis kesakitan saat kontraksi. Pun saat istrinya mengejan hampir kehabisan suara saat melahirkan. Namun semua itu seolah tak membuatnya tersentuh.

Itu dulu. Saat ini ia telah sadar. Sadar dengan nasihat dari Fikri.

"Terimakasih sudah mengingatkanku, Mas. Mungkin aku akan terus seperti ini jika tidak bertemu denganmu malam ini".

"Segeralah pulang, Mas. Hanya kepulanganmu dengan selamat yang sangat ditunggu-tunggu oleh istrimu."

Ramdan membayar minuman pesanannya, kemudian beranjak pergi dengan tergesa-gesa. Hujan memang masih lebat, tapi keinginannya untuk pulang untuk segera meminta maaf pada istrinya ternyata lebih kuat.

4 Feb 2019

Memaksakan Diri untuk Rajin dengan Mengikuti Event SETIP "Seminggu Tiga Postingan" bersama Estrilook Community

12:32 0 Comments


Awal mula aku membuat blog ini niatnya adalah agar ada wadah untuk menulis. Karena menulis di diary seperti dulu saat masih sekolah, rasanya sudah tidak mungkin dilakukan sekarang dengan status sebagai ibu. Apalagi dengan menulis di blog, ada kemungkinan bisa dibaca oleh banyak orang. Sehingga jika apa yang kita tulis bermanfaat bagi siapapun yang membaca, maka sebagai penulis kita juga akan mendapat manfaatnya.

Selain itu, dengan menjadi blogger, kita tidak akan sendirian. Ada banyak komunitas blogger yang di dalamnya kita bisa mendapat banyak manfaat, banyak relasi dan peluang. Belum lagi jika blog yang kita buat ternyata bisa mendapatkan penghasilan dari iklan yang terpasang. Serius, tidak ada yang merugikan dari menjadi seorang blogger.

Memang semudah dan se-menyenangkan itu menjadi seorang blogger. Namun jangan dikira, tidak pernah ada masalah yang terjadi. Dan masalah terbesar adalah saat datang rasa malas. Terlebih jika sudah berstatus seorang ibu. Semua kesibukan rumah rasanya bisa saja menjadi alasan untuk malas menulis karena sudah terlalu letih. Alhasil, blog yang dibuat hanya akan dipenuhi sarang laba-laba alias kosong tidak ada isinya (baca: postingan).

Lalu bagaimana caranya agar rajin menulis, terutama mengisi blog?

Inilah jawabannya. Estrilook telah menyediakan wadah bagi para blogger agar bisa rajin dan konsisten menghasilkan konten untuk blognya setiap harinya. Diberi nama SETIP, singkatan dari Seminggu Tiga Postingan, siapapun yang ikut event ini diharapkan mampu menulis dengan konsisten hanya tiga postingan saja dalam satu minggu. Iya, hanya tiga postingan dalam waktu tujuh hari tentu saja bukanlah hal yang berat.

Motivasiku mengikuti event ini adalah dalam rangka memaksakan diri untuk menjadi rajin. Jika dulu waktu masih sekolah, ada guru yang siap mengevaluasi kerja kita, siap mendampingi, dan siap memberi tugas untuk dikerjakan, yang secara langsung memaksa kita untuk menjadi siswa yang rajin.

Sekarang sudah bukan menjadi siswa lagi. Sehingga tidak akan ada yang memaksa untuk menjadi rajin. Maka inilah caraku memaksa diriku sendiri. Karena kegemaranku menulis ini bukan permintaan orang lain, melainkan kesadaranku sendiri. Makanya tidak akan ada yang menghukum jika aku malas menulis. Pun tidak ada yang dirugikan jika hal itu terjadi.

Namun aku sadar, waktuku terus berjalan. Sayang kalau umur semakin bertambah tapi tidak ada sesuatu yang dihasilkan. Sayang jika selama hidup tidak ada jejak kebaikan yang bisa ditinggalkan. Jika bukan jejak besar yang mampu mengubah dunia, minimal ada tulisan yang bisa bermanfaat bagi siapapun yang mampir ke blog ini dan membacanya.

Karenanya, mumpung usia belum terlalu tua, mata belum terlalu samar untuk menatap layar komputer, pun jari masih sangat lincah bergerak di atas keyboard, tidak ada salahnya memaksakan diri untuk rajin dan produktif. Karena dengan mengikuti event ini, kita akan terus diingatkan untuk menghasilkan tulisan dengan cara menyetor link pada grup Facebook Estrilook Community setiap hari Senin, Rabu dan Jum'at.

Rasa malas memang manusiawi. Siapapun dan apapun pekerjannya pasti pernah berada dalam rasa malas.  Namun yang menjadi berbeda adalah, seberapa lama kita mau bertahan dalam kemalasan. Ada yang begitu menikmatinya. Ada yang dengan segera bangkit untuk bergerak. Buat kamu, aku dan siapapun yang tidak ingin diperbudak rasa malas yang lebih lama dan semakin parah, yuk segera bangkit, berdiri, bergerak, dan memulai.

Salam,