Aku Memang Ibu Rumah Tangga, Tapi Aku Tidak Diam Saja

foto: pexels.com

Sebagai seorang anak yang memiliki kesempatan besar untuk bisa menjalani pendidikan di bangku kuliah, aku sangat bersyukur. Karena tidak semua anak dari semua orang tua di dunia ini yang memiliki kesempatan untuk merasakan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Tapi aku, aku salah satu di antara yang beruntung karena memiliki kesempatan itu.

Aku merasa lebih beruntung ketika orang tuaku sama sekali tidak memaksaku untuk mengambil jurusan tertentu yang menurut mereka bagus. Yang terpenting bagi mereka, jurusan apa saja asal anaknya senang dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya. Well, lagi-lagi aku beruntung dan bersyukur telah dilahirkan dari orang tua yang sangat demokratis dan fleksibel.

Hingga akhirnya aku memilih untuk mengambil jurusan Bahasa Inggris yang memang itu pelajaran yang aku senangi sejak masih di bangku SMP. Kalau sudah senang, memang benar, apapun tugasnya akan tetap dengan senang hati dilalui dan diselesaikan. Alhamdulillah, kuliahku lulus tepat waktu dan berhasil menambahkan gelar Sarjana Pendidikan di akhir namaku.

Kesempatan untuk berkarir itu ada. Kesempatan untuk memanfaatkan ijazah yang aku punya itu juga ada. Namun tidak ada yang tahu kalau ternyata kesempatan itu terbentur dengan keadaan lain. Iya, aku pada akhirnya harus memutuskan berhenti mengajar karena ingin merawat anakku sendiri.

Bakalan panjang kalau dikisahkan bagian ini, hehehe

Intinya, sekarang aku adalah ibu rumah tangga, dengan gelar sarjana. Banyak kemudian yang bilang, "apa nggak sayang udah kuliah tinggi dan jadi sarjana kalau cuma jadi ibu rumah tangga?". Hmm, kira-kira sudah seribu sekian ratus orang yang bilang begitu wkwk *lebay mode on

Tidak, aku tidak perlu menjelaskan apapun pada mereka tentang hal ini. Mereka mungkin tidak butuh alasanku. Cukup aku saja yang tahu. Dan akupun tahu harus bertanggung jawab dengan pilihanku.

Menjadi ibu rumah tangga memang akan terlihat seperti pengangguran. Aku terlihat hanya di rumah, momong anak, dan tidak punya penghasilan. Memang benar, itu yang terlihat. Tapi yang tersimpan di balik apa yang terlihat, tidak semua orang tahu.

Oke, aku punya raga yang sehat, akal yang masih bisa berfikir, itu artinya aku punya modal untuk memulai sesuatu. Hingga ada kesempatan datang untuk menjadi marketer BisnisKITA. Aku yang tidak memiliki modal uang banyak untuk memulai usaha, aku pilih peluang yang tidak terlalu butuh modal besar. Di sana, aku berkesempatan mempromosikan banyak produk bagus, produk asli Indonesia alias bukan produk import, dan mendapatkan fee dari penjualan yang aku lakukan. Fee yang terkumpul akan dibayarkan setiap tangga 11. See, aku bergaji. Sama seperti saat aku masih mengajar dan sama seperti mereka yang bekerja.

Meskipun gaji yang aku terima belum sebanyak gaji manager, tapi paling tidak aku bisa bergerak yang terbukti menghasilkan. Dengan memanfaatkan kesehatan yang Allah berikan dan gadgetku yang jadul, aku bisa mendapat pundi-pundi rupiah rutin setiap bulannya. Lumayan buat jajan bakso hehe

ini bukan bisnis MLM lho

Lagi-lagi masih dengan memanfaatkan gadget, aku kembali dapat kesempatan untuk menulis. Iya, hobiku sejak kecil ini rupanya sekarang menjadi sumber penghasilan bagiku. Alhamdulillah, kran rezeki bertambah satu lagi. Rezekinya anakku, tentu saja.

Melalui Estrilook.com aku menyalurkan kegemaranku menulis. Menulis banyak artikel dengan berbagai topik kemudian mengirimnya ke sana. Dan setiap artikelku di muat, aku juga dapat fee yang akan dibayarkan setiap satu bulan sekali. Again, aku mendapatkan gaji bulanan seperti mereka yang berkarir di luar rumah.

media online pertama tempat aku ngirim tulisan

Semua ini aku lakukan dari rumah. Di depan laptop dan dalam genggaman smartphone. Masih dengan memantau setiap perkembangan dan aktivitas anak. Iya, aku masih ibu rumah tangga dan masih dipandang pengangguran oleh banyak orang. Tapi, anggapan itu bukan masalah besar. Aku tidak perlu berlelah-lelah menjelaskan pada mereka tentang pekerjaanku yang tersembunyi itu. Biarkan, aku disebut menyia-nyiakan ijazahku. Mereka tidak tahu bahwa aku telah bergerak memaksimalkan potensi diriku untuk berpenghasilan.

Satu lagi, paling tidak aku tidak merasa terlalu bersalah karena menitipkan anakku pada orang tuaku. Mereka sudah cukup terbebani dengan membesarkanku. Aku tidak bisa lebih lama lagi membebani mereka. Itu saja.

Salam,
Risma Mualifatun Ni'mah

Post a Comment

0 Comments