Pendidikan bagi Anak Disabilitas dan Kusta

Photo by Yan Krukov: https://www.pexels.com/photo/a-person-assisting-a-child-read-a-braille-book-7694415/


Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit kusta. Data WHO tahun 2020 menunjukkan Indonesia masih menjadi penyumbang kasus baru kusta nomor 3 terbesar di dunia dengan jumlah kasus berkisar 8% dari kasus dunia.


Hingga saat ini, diketahui masih banyak kantong-kantong kusta di berbagai wilayah di Indonesia. Sebanyak 9.061 kasus baru kusta ditemukan di Indonesia, termasuk kasus baru kusta pada anak. Per 13 Januari 2021 lalu, kasus baru kusta pada anak mencapai 9,14 %. Angka ini belum mencapai target pemerintah yaitu di bawah 5%.


Sama halnya dengan penyandang disabilitas dewasa baik yang disebabkan oleh kusta atau ragam disabilitas lainnya, demikian pula dengan anak dengan disabilitas dan kusta masih tetap terjebak dalam lingkaran diskriminasi. Terlebih pada anak, salah satu hambatan terbesarnya yaitu banyaknya anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan perlakuan yang salah, baik dalam hal pendidikan hingga lingkungan sosialnya.


Dengan keterbatasan yang dimiliki anak dengan disabilitas dan kusta, perlu adanya komitmen seluruh pihak untuk memastikan anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang baik. Memastikan tumbuh kembangnya berjalan dengan optimal, memiliki masa depan yang baik, tidak lagi dibedakan dengan anak non disabilitas lainnya, dan mendapatkan hak pendidikan yang inklusif.


Lalu, bagaimana upaya pemenuhan hak dan pendidikan yang inklusi pada anak dengan disabilitas dan kusta dapat segera terwujud? Apa saja upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak dengan disabilitas dan kusta sejauh ini?


Talkshow Ruang Publik KBR "Pendidikan bagi Anak Disabilitas dan Kusta" pada Jumat, 21 Oktober 2022 membahas permasalahan ini secara  lengkap bersama para narasumber:


  1. Fransiskus Borgias Patut - Kepala SDN Rangga Watu Manggarai Barat

  2. Anselmus Gabies Kartono - Yayasan Kita Juga (Sankita)

  3. Ignas Carly - Siswa kelas 5, SDN Rangga Watu Manggarai Barat (Testimoni Disabilitas)



Pelaksanaan Pendidikan Inklusif

Anak penyandang disabilitas dan kusta sebenarnya telah disediakan fasilitas khusus untuk mendapatkan pendidikan berupa SLB atau sekolah luar biasa. Sayangnya tidak semua anak disabilitas bisa dengan mudah mencapai fasilitas tersebut, seperti karena alasan jarak yang jauh. Alasan ini juga yang mendasari SDN Rangga Watu, Golo Desat, Mbeliling, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan pendidikan.


Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan potensi kecerdasan istimewa untuk belajar di lingkungan yang sama dengan peserta didik umumnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menegaskan bahwa tiap warga berhak mendapatkan pendidikan. 


Tantangan dalam Hal Guru dan Pengajar

Frans dalam talkshow Ruang Publik KBR "Pendidikan bagi Anak Disabilitas dan Kusta" mengatakan bahwa upaya pemerintah memberikan kesempatan anak disabilitas untuk bisa belajar di sekolah reguler menemui kendala. Kendala yang dimaksud yaitu guru dan pengajar yang berlatar belakang umum, bukan guru khusus bagi ABK.


Lebih lanjut Frans berharap agar pemerintah mendorong para sarjana pendidikan khusus untuk mengabdikan diri di sekolah-sekolah negeri yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sebagai langkah nyata, SDN Rangga Watu berkolaborasi dengan Yayasan Kita Juga (Sankita) yang bersedia memberikan pelatihan kepada guru umum untuk menguasai kompetensi guru khusus.


Frans mengaku beruntung atas kesempatan kolaborasi tersebut. Dengan dorongan dari Sankita juga, SDN Rangga Watu juga memperoleh Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan Provinsi NTT untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Hal ini tentu menjadi dukungan berharga bagi SDN Rangga Watu yang memang sebelumnya sudah menyelenggarakan pendidikan inklusif.


Sankita Membekali Guru dengan Kemampuan Khusus

Anselmus dari Yayasan Kita Juga (Sankita) mengaku menemukan banyak anak berkebutuhan khusus di kampung yang terpaksa putus sekolah. Itulah yang menjadi  alasan Sankita  mendorong sekolah-sekolah reguler untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.


Program-program yang dilakukan Yayasan Kita Juga (Sankita) di antaranya:


1. Pelatihan Identifikasi dan Assesmen

Pelatihan yang diberikan kepada guru meliputi kemampuan identifikasi dan assesmen yaitu mengenali ABK, jenisnya, masalah yang dialami hingga kebutuhannya. Dari proses tersebut, selanjutnya guru bisa menentukan strategi belajar untuk ABK. Misalnya siswa tuna netra yang masih memiliki sedikit sisa penglihatan bisa diajar dengan huruf yang lebih besar dan duduk di kursi depan.


2. Memberikan Motivasi pada Orangtua Siswa

Tidak hanya fokus pada kebutuhan siswa disabilitas, Sankita juga tidak lupa memastikan semua pihak menunjukkan penerimaan dengan baik terhadap siswa disabilitas. Sankita memberikan motivasi kepada orangtua siswa bahwa anak disabilitas juga berhak bersekolah.


3. Pelatihan di Balai Desa dan Berpartisipasi dalam Pembangunan Desa

ABK tidak hanya diberi kesempatan belajar di sekolah inklusif. Mereka juga diterima di tengah masyarakat. Terbukti mereka bisa turut serta dalam kegiatan pembangunan desa. Ini bertujuan agar mata masyarakat terbuka bahwa ABK juga mampu bermasyarakat dan berkembang.




Testimoni dari Siswa Sekolah Inklusif

Ignas Carly, salah satu anak disabilitas yang belajar di sekolah inklusif mengaku senang. Ia menceritakan bagaimana lingkungan sekolah begitu mendukungnya dalam belajar. Ignas tidak lagi khawatir akan penolakan sehingga bisa menjalankan pembelajaran dengan baik.


Penyelenggaraan pendidikan inklusif menjadi solusi yang harus diterapkan secara lebih luas. Tujuannya agar semakin banyak anak disabilitas yang bisa mendapatkan pendidikan dengan layak, di lingkungan yang mendukung serta tidak mendapatkan penolakan.


Salam,



Post a Comment

0 Comments