27 Oct 2020

Sabar, Beginilah Cara Mengelola Emosi Anak

15:05 1 Comments
cara mengelola emosi anak


Anak nangis? Anak marah-marah? Apa yang orangtua rasakan terutama ibu saat itu? Pastinya ikut emosi, bingung bahkan bisa balik marah-marah ke anak. Semua bentuk perwujudan emosi itu merupakan hal wajar dan bisa dimaklumi. Namun akan menjadi masalah jika bentuk emosi itu hadir secara berlebihan. Makin mengkhawatirkan kalau sampai terjadi berulang-ulang hingga mengganggu aktivitas. Maka dari itu, orangtua penting untuk tahu cara mengelola emosi anak.

Berbicara tentang emosi, sebenarnya bentuknya tidak hanya berupa kemarahan. Emosi juga bisa berupa sedih, takut bahkan senang pun termasuk emosi. Semua jenis emosi memerlukan pengelolaan agar tidak sampai mengganggu kestabilan psikis. Dan yang paling perlu mendapat perhatian adalah emosi yang mengarah pada hal negatif seperti sedih berlebihan hingga menangis dan kecewa hingga marah besar.

Mengenal Emosi pada Anak

Photo by Alexander Dummer from Pexels

Pengendalian emosi penting dilakukan di semua tahap usia. Orang dewasa dengan pengalaman hidup yang lebih banyak menjadi latar belakang mengapa lebih mampu mengendalikan emosi. Sementara anak masih belum punya kemampuan mengendalikan diri dengan baik. Oleh karena itu, anak sangat butuh bantuan orangtua untuk mengelola emosi di masa kecilnya. Tapi sebelum membantu anak, orangtua harus paham perkembangan emosi anak di tiap usianya.


Usia 0-1 Tahun

Pada usia bayi, anak bukan berarti tidak memiliki emosi. Meski belum bisa mengungkapkan dengan kata-kata, bayi sudah bisa menunjukkan emosi melalui tangisan. Itulah mengapa ada beberapa jenis tangisan bayi yang mendadakan kondisi berbeda. Ada tangisan karena lapar. Ada kalanya anak menangis karena tidak nyaman. Emosi bayi juga bisa terlihat dari gerakan anggota tubuhnya, seperti tangan dan kaki.


Usia 1-3 Tahun

Pada usia 1-3 tahun, perkembangan emosi anak sudah cukup dinamis namun belum stabil. Trantrum masih menjadi kebiasaan anak di usia tersebut karena mereka masih memiliki kemampuan terbatas untuk menyampaikan emosi. Emosi yang diperlihatkan juga semakin beragam karena mereka sudah mulai berinteraksi dengan orang dan lingkungan sekitar. Meskipun mereka masih akan tetap lebih banyak menggunakan tangisan.


Usia 3-4 Tahun

Semakin bertambah usia, anak akan semakin mampu menonjolkan emosi. Pada usia 3-4 tahun, anak bahkan sudah bisa mengenali emosi yang dirasakannya sebab mereka sudah mampu menyebutkan nama emosi tersebut. Misalnya ketika takut, maka anak akan mengungkapkan. Ketika di usia ini, anak sebenarnya sudah mulai bisa mengendalikan emosi. Hanya saja sisi egoisnya kadang masih lebih besar sehingga emosinya masih tetap tidak terkendali.


Usia 4-5 Tahun

Mendekati masa akhir usia balita, anak sudah mampu menenangkan temannya yang sedih atau marah. Tapi bukan berarti mereka bisa berhasil saat mengendalikan emosinya sendiri. Justru di usia tersebut, ego anak sedang tinggi-tingginya. Anak sering merasa selalu benar dan merasa harus selalu diterima. Saat kondisi perasaannya sedang kurang baik, anak akan melampiaskan emosi dengan cara yang spontan.

Cara Mengelola Emosi Anak

Photo by Daria Shevtsova from Pexels

Tidak salah apabila orangtua berharap anaknya selalu menunjukkan emosi yang menyenangkan, bukan yang mudah marah atau menangis. Tapi keinginan tersebut tentu sulit terwujud mengingat anak adalah makhluk yang punya beragam emosi. Tentu sudah menjadi kodrat mereka untuk selalu menunjukkan beragam emosi itu berdasarkan kondisi yang terjadi pada dirinya. Tugas kitalah sebagai orangtua untuk menjadi pengendali serta pengarah emosi agar tidak menghasilkan hal-hal negatif.


Kenali Penyebab Emosi

Melakukan cara mengelola emosi akan berhasil apabila orangtua terlebih dahulu tahu penyebabnya. Apa yang menyebabkan anak mengeluarkan emosi tertentu juga bisa berasal dari beragam faktor. Salah satunya adalah pengaruh usia dan perkembangan otak. Pada usia dini, otak anak belum cukup mampu menghasilkan respon yang sepatutnya dalam waktu singkat. Sehingga yang secara cepat terjadi adalah respon seperti menangis atau berteriak. Orangtua harus menyadari faktor ini sebelum melabeli anak dengan sebutan 'nakal'.

Faktor kedua yang bisa jadi penyebab emosi adalah perkembangan motorik, sensorik dan kognitif. Kemampuan yang semakin berkembang membuat anak tertarik untuk mencoba banyak hal baru. Sifat egosentrisnya melatarbelakangi keinginan anak untuk melakukan banyak hal sendiri. Mereka juga sering melihat segala sesuatu dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Hal tersebut seringkali menghasilkan sifat keras kepala anak yang bertentangan dengan orangtua.

Saat sudah memahami faktor penyebab emosi pada anak, orangtua akan lebih mampu untuk mengendalikannya. Sebagai contoh, ketika anak menangis karena mainan yang telah disusunnya runtuh, maka orangtua bisa memahami bahwa itu diakibatkan oleh ketidakmampuannya menerima kondisi. Kemudian orangtua dapat mengatasinya dengan cara yang lebih tepat, misalnya dengan memberitahu anak bahwa ia harus perlu berhati-hati agar mainannya tidak runtuh.


Mengalihkan Emosi

Jika anak belum mampu berkomunikasi, maka orangtua bisa meredakan emosi anak dengan mengalihkannya ke hal lain. Cara ini memang sudah menjadi hal umum di kalangan orangtua. Contoh sederhananya, bayi yang menangis bisa ditenangkan dengan melihat langit atau benda-benda yang menarik. Cara ini juga sering berhasil untuk membuat perhatian anak teralihkan hingga bisa melupakan penyebab utama emosinya.


Ajarkan Anak Mengungkapkan Emosi

Saat anak sudah mulai menguasai banyak kosakata dan mampu diajak berkomunikasi, orangtua perlu mengajarkan anak bagaimana seharusnya mengungkapkan emosi. Orangtua bisa memperkenalkan nama-nama emosi beserta contohnya, seperti marah ketika mainannya direbut, sedih ketika kehilangan sesuatu atau takut ketika berada di sekitar orang-orang asing.

Anak yang sudah mengerti emosi akan lebih mudah diajari cara mengungkapkannya. Orangtua dapat memberitahu bagaimana cara mengatur napas ketika marah, misalnya. Anak juga bisa diajari bagaimana mengungkapkan emosi dengan kata. Contohnya, mengatakan "aku takut" atau "aku sedih". Cara ini memang tidak akan berguna pada anak yang belum mampu memahami komunikasi.


Berikan Waktu dan Batasan pada Anak

Saat anak menunjukkan emosi tertentu, orangtua akan secara refleks ingin meredakannya. Apalagi jika emosi itu berupa kemarahan, orangtua pasti kelimpungan dan menginginkan kemarahan anak segera surut. Justru anak seharusnya diberi waktu untuk mengekspresikan emosinya itu. Hanya saja memang waktunya tidak boleh terlalu lama. Dengan membiarkan anak menunjukkan emosinya, maka itu tidak akan membuat emosi itu terpendam yang akhirnya di kemudian hari bisa meledak lebih parah.

Orangtua juga perlu memberi batasan pada anak ketika meluapkan emosi. Bagaimanapun anak belum mampu mengelola pengendalian dirinya. Batasan dari orangtua perlu diberikan ketika anak sudah mulai berlebihan, misalnya menangis sambil bergulung-gulung di lantai. Orangtua juga perlu mengingatkan ketika emosi yang keluar mulai mengganggu aktivitas anak.


Tunjukkan Empati dengan Mengobrol

Cara mengelola emosi anak yang berikut ini juga belum bisa diterapkan pada anak yang belum mampu berkomunikasi. Orangtua tidak sebaiknya turut menunjukkan emosi yang sama pada anak, misalnya ikut marah saat anak marah. Pasalnya emosi yang sama tidak akan bisa menghasilkan penyelesaian. Bahkan ketika anak sedih, orangtua juga seharusnya tidak ikut sedih.

Empati pada emosi anak bukan berarti orangtua menunjukkan emosi yang serupa. Empati bisa ditunjukkan dengan berbicara dari hati ke hati. Berbicara bisa dilakukan setelah orangtua memberi waktu pada anak untuk melampiaskan emosi. Pastikan berbicara pada anak ketika kondisinya sudah mulai tenang agar hasilnya lebih efektif.


Bersikaplah Tegas tapi Bukan Keras

Meskipun orangtua dianjurkan untuk mengajak anak berbicara dari hati ke hati, bukan berarti orangtua sedang mengikuti kemauan anak. Orangtua tetap harus tegas untuk mengatasi emosi anak. Bersikap tegas tidak harus dengan marah-marah apalagi berkata kasar. Sikap tegas cukup ditunjukkan dengan kalimat yang bersifat persuasif. Hal itu dilakukan agar anak tahu apa risikonya jika membiarkan emosi itu berlanjut.

Sikap tegas juga tidak seharusnya ditunjukkan dengan berbuat kekerasan. Untuk apapun alasannya, kekerasan pada fisik bukan jawaban untuk mengatasi emosi anak. Bahkan emosi anak bisa semakin lepas kendali jika ia mendapatkan kekerasan. Hal yang lebih menakutkan lagi apabila kekerasan membekas di otak anak dan ia akan menirunya di masa depan.


Berikan Contoh yang Baik

Menginginkan anak bersikap baik dan mampu mengendalikan emosi tentu tidak akan terwujud jika orangtua sendiri justru mudah melampiaskan emosi. Karena anak merupakan peniru ulung, maka orangtua sudah semestinya memberikan teladan yang baik. Sebisa mungkin, orangtua harus menyembunyikan emosi yang negatif dari anak. Usahakan tidak berada di dekat anak ketika marah besar hingga meledak-ledak.

Termasuk ketika menanggapi kemarahan anak, orangtua yang bisa bersikap tenang akan lebih efektif dalam menanamkan teladan pada anak. Anak akan melihat bagaimana orangtuanya bersikap saat marah, maka ia juga akan meniru yang demikian saat marah. Memberi teladan secara tidak langsung menjadi cara mengelola emosi anak yang paling efektif.


Mengetahui cara mengelola emosi anak merupakan ilmu wajib yang harus dikuasai orangtua. Bahkan ayah yang kebanyakan tidak terlalu sering bersama anak pun tetap harus menguasai ilmu ini. Karena keberhasilan mengelola emosi anak tidak akan bermanfaat saat ia masih kecil. Karakter baik anak akan terbentuk dari cara mengelola emosi yang benar hingga manfaatnya bisa dirasakan sampai ia dewasa.

Salam,


12 Oct 2020

Hobi Bersepeda Saat Pandemi, Ingin Sehat atau Hanya Tren?

11:56 0 Comments

hobi bersepeda saat pandemi


Di balik semua kesulitan yang ditimbulkan penyebaran virus Corona, ada hal-hal menarik yang setidaknya bisa mengalihkan perhatian banyak orang. Salah satunya dengan munculnya kebiasaan baru yang akhirnya disebut sebagai hobi. Menghabiskan banyak waktu di rumah membuat kebanyakan orang akhirnya berpikir kreatif untuk menghilangkan kebosanan. Ada yang mulai menekuni aktivitas menanam, ada yang mulai serius merawat hewan peliharaan. Tidak sedikit juga yang akhirnya menguasai keahlian tertentu seperti memasak, menjahit, melukis, menciptakan lagu dan sejenisnya.


Waktu yang terus bergulir belum juga memperlihatkan pandemi virus Corona akan berakhir. Hingga kemudian mulai banyak orang yang berani beraktivitas di luar rumah. Namun tentu dengan segala bentuk aturan yang harus ditaati, seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Sisi baiknya adalah masyarakat mulai sadar akan pentingnya kesehatan. Termasuk munculnya hobi bersepeda saat pandemi, benarkah itu bentuk kesadaran terhadap kesehatan ataukah hanya akan menjadi tren sesaat? Mari kita lihat!


Jumlah Pesepeda Meningkat di Berbagai Wilayah

Photo by Daria Shevtsova from Pexels


Bersepeda sepertinya menjadi salah satu tren yang persebarannya begitu cepat dan merata. Aktivitas yang dulu sempat tergeser akibat kehadiran kendaraan bermotor itu kini semakin mudah ditemui. Tidak hanya di kota-kota besar, pesepeda juga banyak ditemukan di kota-kota kecil dan wilayah pinggiran. Bukan cuma jalan raya yang dipenuhi pesepeda, tetapi juga jalan-jalan di kawasan pedesaan juga selalu diramaikan pesepeda terutama ketika akhir pekan.


Sebuah data menunjukkan bahwa di Jakarta, jumlah pesepeda meningkat drastis hingga 10 kali lipat dibanding tahun lalu. Institute for Transportation and Developement Policy (ITDP) melaporkan ada sebanyak 235 pengguna sepeda di Jakarta pada Juni 2020. Data tersebut menjadi perbandingan angka pada Oktober 2019 lalu yang menunjukkan pesepeda sebanyak 21 saja.


Penambahan jumlah peminat terhadap hobi bersepeda juga berdasarkan survei online yang diadakan KlikDokter pada 18 Juli lalu. Sebanyak 59 orang atau 89% dari keseluruhan 66 partisipan mengaku sudah melakukan hobi bersepeda sejak sebelum datangnya pandemi virus Corona. Sedangkan sisanya yaitu 11% atau 11 orang mengaku mulai bersepeda semenjak pandemi.


Dari survei di atas juga terlihat bahwa tren bersepeda dimulai sejak adanya pelonggaran di berbagai wilayah atau yang disebut dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Pada masa tersebut, semua aktivitas sudah kembali normal namun masih banyak orang yang khawatir akan penularan Corona. Terutama pada penggunaan transportasi umum yang sangat rentan menjadi tempat penularan virus. Akhirnya banyak orang harus memutar otak dan menemuka cara transportasi yang lebih aman. Bersepeda adalah pilihannya.


Mengapa Memilih Bersepeda?


Sebenarnya ada banyak inspirasi hobi baru selama masa pandemi. Misalnya berkreasi dengan resep hingga muncul menu baru. Ide ini sudah pernah juga mengisi waktu masyarakat di masa awal pandemi dengan hadirnya minuman fenomenal yang diberi nama Dalgona Coffee. Tapi popularitas kopi Dalgona tidak bertahan lama. Buktinya minuman tersebut tidak lagi banyak diperbincangkan.


Bersepeda pun sebenarnya bukan aktivitas yang baru dikenal. Sepeda sudah dikenal sebagai alat transportasi tradisional. Kendaraan tersebut sudah dipakai sejak zaman penjajahan. Mulai dari hanya golongan pejabat saja yang dapat menggunakan, hingga sekarang semua kalangan mampu memiliki sepeda. Lantas kenapa bersepeda kembali mendapatkan respon yang begitu ramai dan diiringi dengan peningkatan peminat?


Sepeda diketahui sebagai kendaraan yang ramah lingkungan. Hal ini disadari sebagai salah satu menjaga keseimbangan alam dengan tidak menimbulkan polusi yang lebih banyak. Maka wajar jika kemudian banyak orang memilih menggunakan sepeda. Karena mereka tahu bahwa sepeda tidak akan merusak lingkungan atau bisa dikatakan mendukung gaya hidup green living seperti yang sudah banyak digalakkan di berbagai negara seperti Jepang salah satunya.


Selain itu, sepeda mengharuskan penggunanya untuk melakukan gerak fisik lebih banyak. Berbeda dengan penggunaan kendaraan bermotor yang tidak perlu dikayuh. Sementara kaki harus terus bergerak untuk membuat sepeda melaju. Hal ini dipercaya bagus untuk kesehatan tubuh. Bersepeda juga termasuk salah satu olahraga termudah dan sangat menyenangkan.


Penjualan Sepeda Meningkat karena Tren

Photo by Philipp M from Pexels


Meningkatnya minat masyarakat terhadap hobi bersepeda saat pandemi membawa angin segar bagi para penjual sepeda. Setelah sekian lama mereka harus bersaing dengan tingginya minat terhadap kendaraan bermotor, akhirnya masa pandemi ini membawa mereka pada keberuntungan. Tidak dapat dipungkiri lagi, permintaan akan sepeda terus melonjak. Hal inipun juga tidak dapat mencegah tingginya harga sepeda.


Poin ini sebetulnya juga masih merupakan jawaban pada sub bab sebelumnya, mengapa memilih bersepeda? Di antara para penggemar sepeda itu juga mengaku menyukai sepeda-sepeda masa kini yang tentu jauh lebih canggih dan modern, dengan harga yang tentu tidak lagi murah. Bisa dipastikan bahwa tren bersepeda ini akan mengiringi munculnya tren model sepeda kekinian.


Sepeda bukan lagi kendaraan yang harganya jauh dibawa motor. Bahkan harga sepeda kini sudah bisa disetarakan dengan harga motor baru atau bahkan melebihinya. Untuk merk tertentu, sepeda kekinian itu bisa dihargai sangat tinggi hingga puluhan juta rupiah. Hal inipun sepertinya tidak menjadi keberatan bagi sebagian orang yang terbukt rela membeli sepeda mahal demi memuaskan hobinya.


Omzet penjual sepeda dipastikan meningkat tajam. Penjualan pun tidak hanya secara langsung tapi juga sudah masuk ke ranah online. Dari yang awalnya minat terhadap sepeda sangat rendah, kini ratusan unit sepeda bisa terjual setiap bulannya. Tidak hanya berlaku untuk sepeda baru, sepeda bekas alias second juga tetap diburu.


Tren Sesaat ataukah Akan Bertahan?

Photo by Daniel Frank from Pexels


Tak dipungkiri bahwa masa pandemi ini menghasilkan banyak penggemar pesepeda baru. Mereka dengan terang mengaku baru menenkuni aktivitas itu sejak pandemi. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apakah bersepeda akan menjadi tren sesaat ataukah akan bertahan hingga waktu yang lama seperti orang-orang yang menggunakan motor?


Sebagian pesepeda baru akhirnya menyadari bahwa aktivitas tersebut bisa mendatangkan banyak manfaat. Mereka lah yang kemudian masih terus melakukan kegiatan ini di waktu yang konsisten. Mereka umumnya juga paham bahwa bersepeda termasuk olahraga yang perlu diimbangi dengan mengonsumsi makanan sehat serta menjalankan kebiasaan sehat lainnya.


Di sisi lain, tidak sedikit orang yang akhirnya harus mau disebut 'latah'. Mereka juga termasuk pesepeda baru. Bahkan mereka juga ikut membeli sepeda kekinian dengan harga mahal. Mereka juga yang meramaikan jalanan setiap akhir pekan. Mereka yang juga kemudian membentuk komunitas atas hobi baru tersebut.


Pesepeda yang hanya ikut-ikutan biasanya akan terlihat menurun semangatnya ketika tren bersepeda tidak lagi se-booming sebelumnya. Apa yang mereka cari hanya eksistensi, berfoto dengan sepeda baru yang keren, memakai baju selayaknya atlet bersepeda lalu mengunggahnya di media sosial. Namun setelah beberapa saat, minatnya berkurang dan bahkan bisa hilang sama sekali.



Melihat dari fakta-fakta di atas, hobi bersepeda saat pandemi bisa dikatakan sebagai tren sesaat. Terutama bagi mereka yang tidak memahami betul manfaat di balik aktivitas itu. Terbukti sudah sekarang jalanan di akhir pekan tidak lagi dipenuhi pesepeda. Sementara bersepeda juga bisa menjadi gaya hidup apabila orang yang menjalankannya menyadari ada keuntungan dari segi kesehatan yang akan didapatkannya. Mereka juga biasanya termasuk orang yang rutin bersepeda sebagai pengisi waktu libur dan pelepas penat, bukan yang bersepeda namun justru mengalami kelelahan yang berlebihan.


Salam,